Pendapat
Pertama: Duduk Dalam sholat Adalah Mutlak Iftirasy, Baik Duduk Diantara Dua
Sujud, Tasyahud Awal, Maupun Tasyahud Akhir
Yaitu pendapat Imam Hanafi dan yang sepaham
dengannya, bahwa duduk dalam sholat adalah mutlak iftirasy, baik duduk di
antara dua sujud, tasyahud awal, maupun tasyahud akhir
Pendapatnya ini berdalil dengan beberapa hadits,
diantaranya yaitu:
Perkataan Aisyah, istri Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam
”Beliau Rasulullah mengucapkan tahiyyat pada setiap
dua rekaat/rekaat kedua, saat itu beliau hamparkan kaki kirinya dan menegakkan
kaki kanannya.” (Shahih Muslim no. 498).
Perkataan Wail bin Hujr
”Aku menyaksikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam ketika duduk dalam shalat; beliau hamparkan telapak kaki kirinya
dan menegakkan telapak kaki kanannya.” (Ibnu Khuzaimah no.691, Al-Baihaqi
no.72, Ahmad no.316), Al-Thabrani no.33). Dalam riwayat Tirmidzi dengan lafal:
”Tatkala duduk tasyahud beliau hamparkan kaki kirinya dan tangan kirinya
diletakan pada pahanya sementara itu kaki kanannya ditegakkannya.” (Sunan
Tirmidzi no.292).
Hadit-hadits tersebut, dan hadits lain yang senada,
menunjukkan disebutkannya duduk iftirasy baik waktu tasyahud maupun bukan.
Dikutip dari: ibnuramadan.wordpress.com dari: Majalah Fatawa Vol.IV/No.11/Dzulqa’dah 1429, dengan beberapa
perubahan redaksi.
Pendapat
Kedua: Duduk Dalam Shalat Adalah Tawaruk, Baik Pada Tasyahud Awal, Atau Akhir,
Maupun Diantara Dua Sujud
Adalah pendapat Imam Malik, dan yang sepaham
dengannya, bahwa duduk dalam shalat adalah tawaruk, baik pada tasyahud awal,
atau akhir, maupun di antara dua sujud
Pandangan ini dibangun di atas hadits-hadits
berikut:
Perkataan Abdullah Ibnu Umar :
”Bahwasanya sunnah shalat (ketika duduk) adalah
engkau tegakkan telapak kaki kananmu dan melipat yang kiri!” (Shahih al-Bukhari
no.793, bersama Fatul Bari).
Perkataan Abdullah Ibnu Mas’ud :
”Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah mengajarkan tasyahud kepadaku dipertengahan shalat dan di akhirnya.”
Katanya lagi,
”Beliau mengucapkan (tasyahud tersebut) jika duduk
di pertengahan shalat dan di akhirnya di atas warik (bagian atas
paha/pantat)-nya yang kiri…” (Musnad Ahmad 4369)
Hadits-haduts tersebut menyebutkan adanya duduk
tawaruk dalam shalat, baik di tengah maupun akhirnya.
Mereka juga mendasarkan pada kiyas, bahwa perbuatan
tersebut adalah diulang-ulang dalam shalat, maka sesuatu yang diulang-ulang
dalam shalat mestinya mempunyai satu sifat/bentuk. Seperti halnya berdiri dan
sujud. (Syarh Muwatha, oleh Qadhi Abul Walid Sulaiman al-Naji)
Dikutip dari: ibnuramadan.wordpress.com dari: Majalah Fatawa Vol.IV/No.11/Dzulqa’dah 1429, dengan beberapa
perubahan redaksi.
Pendapat
Ketiga: Duduk Akhir Didalam Shalat Yang Memiliki Satu Tasyahud, Yakni Duduk
Iftirasy dan Jika Memiliki Dua Tasyahud, Tasyahud Awal Dengan Iftirasy dan Yang
Akhir Dengan Tawaruk
Pendapat Imam Ahmad dan yang sepaham. bahwa shalat
yang memiliki satu tasyahud dengan yang memiliki dua tasyahud cara duduknya
berbeda. Shalat yang memiliki satu tasyahud, duduk akhirnya sama dengan cara
duduk di antara dua sujud, yakni iftirasy. Sementara bila shalatnya memiliki
dua tasyahud, maka tasyahud awal dengan cara iftirasy, sedangkan yang kedua
dengan cara tawaruk. Ini merupakan pendapat yang masyur dari Imam Ahmad.
(Fathul Bari, Ibnu Rajab al-Hambali V/164).
Pendapat Hambali. ”Tidak boleh duduk tawaruk
kecuali dalam shalat yang mempunyai dua tasyahud, duduk tawaruk dilakukan pada
tasyahud yang akhir.” (Zadul Mustaqni’ Ahmad bin Hambal)
Dalilnya adalah hadits Aisyah radhiallahu ‘anha
yang mengisahkan tata cara shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai
shalat dengan takbir dan membaca dengan ‘alhamdulillahi rabbil ‘alamin’. Bila
beliau rukuk, beliau tidak menegakkan kepalanya dan tidak pula menundukkannya,
namun antara keduanya. Bila beliau mengangkat kepalanya dari rukuk, beliau
tidak langsung sujud hingga tegak lurus. Apabila beliau bangun dari sujud,
beliau tidak langsung sujud lagi hingga duduk sempurna. Serta tiap dua rekaat,
beliau mengucapkan tahiyat dan duduk iftirasy.” (HR. Muslim)
Jadi pendapat yang rajih (kuat), wallahu a’lam bish
shawab, adalah tahiyat akhir untuk sholat yang memiliki satu tasyahud dilakukan
dengan iftirasy.
Pendapat
Keempat: Duduk Yang Bukan Duduk Akhir Adalah Iftirasy, Sedangkan Duduk Yang
Dilakukan Pada Tasyahud Akhir Dengan Tawaruk
Ini adalah pendapat Imam Syafi’i dan yang sepaham.
Mereka berpandangan bahwa duduk yang bukan duduk akhir adalah iftirasy,
sedangkan duduk yang dilakukan pada tasyahud akhir dengan tawaruk. Tidak
dibedakan antara shalat yang memiliki dua tasyahud ataupun satu tasyahud.
Syafi’i berpandangan bahwa asal duduk dalam shalat
adalah tawaruk. Dikecualikan sebagaimana perkataan Muzani bahwa Syafi’i
berkata, ”Duduk pada rekaat kedua di atas kanannya.” (Al-Hawi al-Kabir
hal.171).
Ibnu Rusyd mengambarkan pandangan syafi’i, ”Pada
tasyahud awal mereka mengikuti madzab Hambali sementara pada tasyahud akhir
mengikuti madzab Maliki.” (Bidayatul Mujtahid hal.261).
Hadits dari Muhammad bin Amr bin Ath’.
Ia pernah duduk bersama sepuluh orang sahabat. Kami
membincangkan shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tiba-tiba Abu Humaid
al-Sa’idi berkata, ”Dibanding kalian aku lebih hafal tentang shalat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Aku pernah melihat beliau apabila bertakbir
dijadikannya kedua tangannya berhadapan dengan kedua pundaknya. Apabila rukuk,
beliau letakkan kedua tangannya di kedua lututnya, kemudian beliau meluruskan
punggungnya. Bila mengangkat kepalanya (dari ruku), beliau berdiri lurus
(i’tidal) sehingga kembali setiap tulang belakang ke tempatnya. Kemudian
apabila sujud, beliau letakkan kedua tangannya tanpa menghamparkan maupun
menggenggam, sementara ujung-ujung jarinya kedua kakinya dihadapkan ke kiblat.
Apabila duduk pada dua rekaat (rekaat kedua), beliau duduk di atas (hamparan)
kaki kirinya dengan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy). Sementara apabila
duduk pada rekaat akhir, beliau majukan kaki kirinya dengan menegakkan kaki
kanannya dan beliau duduk di tempatnya (di lantai alias duduk tawaruk).”
(Shahih al-Bukhari no.828).
Hadits tersebut ada yang menggunakan lafal lain :
Dalam riwayat Abdul Fadhi Abdul Hamid bin Ja’far
al-Anshari al-Ausi disebutkan,
”Hingga pada saat sajdah yang diikuti dengan
salam”.
Sementara pada riwayat Ibnu Hibban,
”(Pada rekaat) yang menjadi penutup shalat beliau
mengeluarkan kaki kiri dan duduk dengan tawaruk pada sisi kirinya.” (Fathul
Bari II/360).
Sementara itu dalam Shahih Ibni Khuzaimah (I/587).
Sunan al-Tirmidzi no.304, dan Musnad Ahmad no.23088 hadits tersebut dicatat
dengan redaksi:
“Hingga rekaat yang padanya selesailah shalat.”
Lain lagi dalam Sunan al-Nasai no.1262,
“Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika
pada dua rekaat yang padanya berakhirlah shalat.”
Kiranya menurut pendapat keempat ini, yaitu mereka
berpandangan bahwa duduk yang bukan duduk akhir adalah iftirasy, sedangkan
duduk yang dilakukan pada tasyahud akhir dengan tawaruk. Tidak dibedakan antara
shalat yang memiliki dua tasyahud ataupun satu tasyahud. Kesimpulan ini juga
pernah diajukan oleh Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat setelah melakukan
penelitian yang cukup dalam dan lama. Sebelumnya hal ini sudah ditegaskan oleh
Abul Ula Mubarakfuri, ”…Pendapat yang menjadi pandangan Imam Syafi’i dan yang
sepaham mempunyai nash yang jelas dan tegas. Inilah madzhab yang kuat.”
(Tuhfatul Ahwadzi II/155).
Berbeda dengan pendapat dari pihak yang condong kepada
pandangan Hambali. Bahwa menurut mereka, hadits Abu Humaid di atas khusus untuk
shalat yang mempunyai dua tasyahud seperti shalat yang empat atau yang tiga
rekaat, karena susunan haditsnya memang menunjukkan seperti itu. Susunan ini
secara tekstual mengkhususkan bahwa duduk tawaruk hanya ada pada tasyahud yang
kedua.
Jawabannya:
Sebenarnya yang dipersoalkan adalah shalatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, bukan masalah empat rekaatnya. Kita coba urutkan hadits Abu
Humaid di muka:
Pertama: Berkata
Muhammad bin Amr bin Atha’, ”Kami memperbincangkan shalat Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam”. Ini menunjukkan bahwa para sahabat sebanyak sepuluh
orang bersama Muhammad bin Amr bin Atha’ tengah membahas sifat shalat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua: Berkata
Abu Humaid al-Sa’di mengatakan secara umum kepada sahabat-sahabat lainnya bahwa
dia paling tahu tentang sifat shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
kemudian menjelaskan tanpa ,mengkhusukan shalat yang 2, 3, atau 4 rekaat.
Ketiga: Di
antara al-Sa’idi ialah: mengangkat kedua tangan, rukuk, i’tidal, dan sujud.
Apakah semua sifat shalat tersebut khusus untuk shalat yang empat rekaat?
Kemudian hadits Abdullah bin Mas’ud yang dicatat
oleh Ibnu Khuzaimah dalam Shahihahnya no.670 memperkuat hadits Abu Humaid
tersebut.
Dipertegas dan diperkuat dengan hadits dari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, ”Jika engkau duduk di
pertengahan shalat bersikaplah tentang (thuma’ninah) dan hamparkan paha kirimu
(duduk iftirasy), lalu lakukanlah tasyahud.” (Sunan Abu Dawud no.802, menurut
Al-Albani sanadnya hasan, dalam Ashlu Shafatis Shalah, Al-Albani: III/831-832).
Abu Humaid membedakan antara duduk di akhir shalat
dengan duduk yang bukan di akhiri shalat. Tatkala beliau menjelaskan tentang
duduk yang bukan akhir shalat, beliau menyebutnya dengan lafal ”Jika duduk
pada rekaat kedua beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan
(duduk iftirasy)”. Lafal ini menunjukan bahwa duduk iftirasy dilakukan
dipertengahan shalat, bukan akhir shalat. Yang dimaksud ”arrak’atain”
bukan ”dua rekaat”, tetapi ”rekaat yang bukan akhir shalat” alias
rekaat kedua. Jadi hadits ini menjelaskan bahwa duduk iftirasy dilakukan
dipertengahan shalat. Sedangkan lafal hadits Abu Humaid ”dan jika beliau duduk
pada rekaat terakhir”, dengan berbagai lafalnya merupakan nash yang
bersifat manthuq sharih (penunjukan lafal yang sesuai pada ucapannya); hal ini
lebih didahulukan daripada mafhum. Hadits Aisyah, Ibnu Hujr, Ibnu Zubair
tentang duduk iftirasy adalah umum sebagaimana hadits Ibnu Umar tentang
tawaruk; tidak disebutkan apakah pada pertengahan shalat ataukah diakhirnya.
Karena itu hadits yang umum (mutlak) tersebut dibawa kepada yang muqattad
(mengikat khusus), pada hadits Abu Humaid dimuka.
Perlu diingat pula bahwa shalat yang dimaksud satu
tidak hanya yang dua rekaat, dalam shalat witir ada satu, tiga rekaat. Ada juga
empat rekaat dan lima rekaat dengan satu tasyahud. Apakah kiranya ada hadits
yang menjelaskan tentang duduk selain dua re kaat? Pemahaman Imam Syafi’i di
muka memecahkan masalah ini. Tetapi ada yang menarik dari ungkapan Imam Nawawi,
dari madzhab Syafi’i, ”Seandainya seorang ketika pada posisi duduk,
kapanpun, dengan iftirasy, tawaruk, bersila, iq’a, atau bahkan selonjor
tetaplah sah shalatnya meskipun itu menyelisihi.” (Syarh Shahih Muslim,
hal.438). Wallahu a’lam.
Dikutip dari: ibnuramadan.wordpress.com dari: Majalah Fatawa Vol.IV/No.11/Dzulqa’dah 1429, dengan beberapa
perubahan redaksi.